Tulisan ini merupakan esai kuratorial proyek seni AMBANGAN yang dipresentasikan di Cemeti Insitut untuk Seni dan Masyarakat pada 13-16 Maret 2020. Keseluruhan program dapat dilihat di: https://cemeti.art/2020/03/13/ambangan/

***

Pertemuan-pertemuan antara berbagai sistem kehidupan, termasuk sistem pengetahuan, kerap kali tak sekadar menghasilkan dikotomi. Interaksi yang terus terjadi antara segala unsur yang menjalin kehidupan telah membangun dialognya sehingga keberadaan proses tawar-menawar menjadi sebuah keniscayaan. Ada kalanya hal, semacam itu mengantarkan kita pada situasi di antara, sebagaimana sebuah ambang pintu mempertemukan satu ruang dengan ruang lainnya, zona yang tidak definitif dan terus membuka peluang terhadap kemungkinan transformasi.

Situasi tersebut tidak asing dalam kehidupan kita. Di dalam masyarakat kita yang akrab dengan ide komunalistik, hubungan yang personal dan organik, baik antara sesama manusia maupun antara manusia dan lingkungan tempat ia hidup, menjadi sifat bawaan yang terus muncul dalam berbagai aspek kehidupan. Ia berlaku di sistem pengetahuan, cara berbagi, dan sistem pertukaran (ekonomi), yang ditunjang oleh berbagai konsep dan tradisi di masyarakat yang mengikat hubungan antarwarga yang terjalin sebagai lingkar kedekatan, nyaris seperti kekerabatan. Ruang-ruang aturan pun tentunya akan disusun mengikuti pola kehidupan yang membangun basis keberlanjutan melalui ide kebersamaan tersebut.

Menariknya, pola tersebut berjalan bersama dengan sistem modern yang cenderung membutuhkan koridor-koridor ruang aturan dan batasan. Keduanya pun saling mengadopsi dan melahirkan bentuk-bentuk termodifikasi di berbagai aspek kehidupan yang kita kenali. Ada kalanya pertemuan dua pola ini menghasilkan ketegangan karena sifatnya yang berbeda. Tak jarang, pertemuan dan keadaan saling adopsi ini juga membuat ruang bermain yang organik semakin terjepit. Akan tetapi, kadang, muncul pula suatu tawar-menawar yang malah menghasilkan peluang terkait desain sistem yang menjembatani benturan-benturan warisan dari pertemuan-pertemuan sistem sejak dulu sampai sekarang.

Dalam konteks medan seni, situasi yang hampir sama pun berlangsung. Pola hidup berkolektif menjadi metode untuk mengatasi hambatan sistem maupun infrastruktur. Sebuah pola yang sudah ada di kenyataan sehari-hari dikontekskan dengan sistem di medan seni — mula-mulanya untuk mengatasi persoalan pendidikan dan akses. Bersama-sama, hasil pencarian ilmu pengetahuan yang dilakukan tiap individu dipertukarkan dan dipraktikkan dalam sebuah kolektif. Ruang untuk mengembangkan pengetahuan diperluas dengan menambahkan lebih banyak individu yang terlibat. Berteman, belajar, dan berkarya menjadi langkah-langkah pertama untuk membangun metode kerja yang berbasis kolektivitas. Kualitas komunikasi dalam bertukar pengetahuan dan pengalaman menjadi esensial dalam rangka mengakselerasi pengetahuan bersama dalam tubuh kolektif, terutama juga mengakselerasi kritisisme yang rendah di masyarakat kita. Kurangnya pengartikulasian kritik ini merupakan akibat dari jepitan-jepitan struktur yang telah mengakar dalam jangka waktu lama dalam rangka mengejar modernitas.

Dalam skala kecil, Forum Lenteng membuka ruang pendidikan alternatif sejak ia berdiri di tahun 2003. Praktik tersebut terus berjalan hingga kemudian termanifestasi dalam platform-platform belajar yang ia inisiasi — Milisifilem Collective dan 69 Performance Club di antaranya. Basis berkolektif berupa berteman, belajar, dan berkarya menjadi lebih terhubung pada praktik yang spesifik, yaitu praktik artistik atau pendidikan seni secara umum. Pengalaman tubuh dan wawasan tentang seni turut dikomunikasikan pada para pelajar muda melalui simulasi-simulasi tentang peristiwa-peristiwa pada skena seni. Aksi personal saling mencipta, saling mengkritik, dan saling mengkurasi karya menjadi model belajar. Ia memungkinkan pertukaran persepsi berlangsung secara horizontal dengan lapisan-lapisan pembacaan yang jarang sekali tunggal saat semuanya belajar mengartikulasikan kritik. Ia adalah simulasi dari praktik-praktik di medan seni dalam bentuk yang telah termodifikasi oleh metode kerja kolektif.

Simulasi-simulasi kecil inilah yang dibawa dalam proyek seni Ambangan. Dirangkum ke dalam sebuah performans berupa simulasi selama 72 jam (tiga hari), karya ini hadir sebagai suatu penggabungan ide performativitas tentang keseharian, praktik artistik (sketsa), residensi, galeri, dan pameran. Dalam simulasi tersebut, para seniman yang terlibat di dalamnya akan melakukan aktivitas-aktivitas berpola, yang terjadwal, yang dilakukan di dalam sebuah galeri.

Waktu 72 jam menjadi ikon dari sebuah target yang ditetapkan untuk membingkai durasi performans yang dilakukan. Hal ini tak terlepas dari ide karya Andi Rahmatullah (2006) yang berjudul “Hypomania”. Karya tersebut adalah bagian dari pameran fotografi “JEDA” yang diadakan di Galeri Cipta III (22-28 Agustus 2006) dan Cemeti Institut (24 September – 3 Oktober 2006). Melalui karya ini, Andi berusaha untuk membongkar mitos dirinya terkait salah satu gejala hypomania yang ia alami. Pembongkaran itu dilakukan dengan mencari ambang tubuhnya dengan tidak tidur selama 72 jam, sembari memotret dirinya sendiri tiap jam selama waktu tersebut dan membuat catatan personal dalam bentuk visual tentang kondisi yang ia alami saat itu. Waktu 72 jam menjadi target Andi untuk menentukan ambang tubuhnya, sekaligus menjadi jumlah momen jeda yang harus ia seleksi untuk menjadi representasi keseluruhan proses berkaryanya.

Di saat yang sama, waktu 72 jam juga merujuk pada kesepakatan umum akan “akhir pekan” yang dalam performans ini dibingkai sebagai durasi untuk melakukan simulasi tentang sebuah medan seni yang berbasis kolektivitas. Alih-alih berjalan cair sebagaimana biasanya waktu keseharian dalam hidup berkolektif seni, waktu pada performans ini adalah pertemuan berbagai kesepakatan yang hadir dalam bentuk jadwal-jadwal aktivitas. Aktivitas-aktivitas tersebut tidak semata tentang keseharian namun juga tentang praktik artistik pembuatan sketsa. Kami dalam hal ini mencoba meminjam satu akhir pekan untuk mempertemukan waktu yang terukur tersebut dengan momentum-momentum saat ia berada dalam bingkaian intensitas membuat sketsa tentang teman.

Proses artistik membuat sketsa dilakukan tak hanya sebagai proses pencatatan tetapi juga untuk membangun kedekatan dengan visual yang dicatat. Proses mengenal akan diakselerasi melalui intensitas kegiatan, keterbatasan ruang, dan waktu yang cukup panjang. Ia pun akan menjadi tumpukan pembacaan terhadap diri masing-masing seniman yang terlibat dalam performans ini – sebuah cara mengenal lebih dekat yang berangkat dari apa yang nampak hingga pada detail-detail subtil yang kasat mata. Saat kerja pencatatan ini dilakukan terus-menerus, kenyataan yang ditangkap mulai bertemu dengan imajinasi personal si pembuat hingga memungkinkan munculnya spekulasi rupa. Ketimbang mengerjakan praktik artistik dalam ruang yang terpisah dengan ruang pamer, yakni tempat hasil karya biasanya berjumpa dengan publik dan secara resmi menjadi bagian dalam pertarungan wacana di medan seni, performans ini justru hendak meletakkan proses artistik di dalam ruang yang sama dengan ruang tempat pameran dilangsungkan. Perlakuan terhadap galeri disetarakan dengan perlakuan terhadap ruang praktik artistik, ruang residensi, ruang pameran, serta ruang keseharian dengan menghadirkan ikon-ikon aktivitas yang biasa terjadi dalam kehidupan dan kerja kesenian seorang pengkarya. Sehingga keseluruhan simulasi yang dihadirkan pada ruang representasi ini sekaligus menjadi presentasi yang mengutip serakan peristiwa tentang bagaimana desain sistem medan seni yang berbasis kolektivitas berlangsung. Ia adalah posisi, tawaran, atau bagian dari kenyataan yang diseleksi dan ditata ulang sedemikian rupa untuk membicarakan konstelasi yang lebih besar hari ini di tataran global. Ia adalah cara untuk membicarakan tentang mutasi-mutasi dalam sistem yang yang senantiasa dalam kondisi taksa untuk mampu mempertanyakan banyak versi akan kebenarannya sendiri dan terus berada pada zona yang ambang.

 

Jakarta, 11 Maret 2020

Anggraeni Widhiasih & Prashasti Wilujeng Putri

Start typing and press Enter to search