Tulisan ini dimuat di Jurnal Karbon pada 19 Februari 2017.

***

BIGO Live adalah sebentuk media sosial yang cukup fenomenal. Saking fenomenalnya, ia diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi, RI (Kemenkominfo). Pasalnya, aplikasi berbentuk live video streaming ini disinyalir banyak berisi konten pornografi. Apalagi banyak orang mengunduh aplikasi BIGO, untuk berpartisipasi aktif sebagai penyiar maupun hanya sekadar menonton. Pada Oktober 2016 lalu BIGO Live duduk di urutan tiga besar ratting Play Store untuk Indonesia (Andra, 2016).

BIGO Live, sebagaimana media sosial lainnya, secara tidak langsung menyediakan wadah baru bagi performativitas masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh Goffman (1969), setiap orang di dalam kesehariannya melakukan suatu performance entah melalui pakaian yang dikenakan, tuturan verbal, maupun makanan yang disantap. Semua itu didesain sebagai sistem sinyal untuk diri sendiri dan orang lain pada suatu tempat atau suatu kelompok masyarakat. Performativitas merupakan cara membangun impresi tentang diri sendiri untuk orang lain. “Panggung” untuk menampilkan performance ini bergeser sejak adanya internet dan media sosial. Performativitas seseorang di keseharian pindah atau masuk ke kenyataan dunia maya.

Tulisan ini hendak melihat BIGO Live dalam kerangka performativitas tersebut. Pertama, penulis hendak melihat kilas balik perjalanan media sosial. Dengan demikian kita bisa melihat perkembangan media sosial dan perbedaan yang ditawarkan setiap perkembangannya. Selanjutnya, penulis akan menggambarkan fenomena dunia BIGO dan kegiatan merekam serta interaksi yang terjadi di sana. Pada bagian akhir, penulis mencoba melihat aplikasi BIGO Live serta bagaimana posisi tubuh di dalamnya.

 

Kilas Balik Media Sosial

Sejak awal 2000-an, marak sudah berbagai macam kanal media sosial. BIGO dengan live video streaming-nya merupakan salah satu bentuk kanal sosial media termutakhir dan mewadahi hasrat manusia untuk tampil dan dilihatnya, entah demi popularitas ataupun karena terobsesi dengan citraan diri sendiri. Merunut ke belakang, YouTube-lah media sosial yang tetap populer dari awal kemunculannya hingga saat ini. Media- media sosial seangkatan YouTube seperti Friendster telah dan MySpace terlupakan. YouTube—yang lahir pada 2005 berselogan “Broadcast Yourself”—memberi ruang kepada masyarakat untuk mengiklankan dirinya sendiri serta memproduksi informasi yang dapat didistribusikan secara swadaya, tanpa perlu melewati agen televisi. Boleh dikata, YouTube muncul pada saat yang tepat, yakni ketika acara pencari ajang di televisi seperti American Idol dan MTV VJ Hunt sedang heboh-hebohnya.

Pada 2007, muncullah Facebook. Melalui fitur mutual friend, Facebook menyadarkan para penggunanya, bahwa ternyata banyak orang saling terhubung. Lantas, Instagram, muncul pada 2010, memberi ruang berekspresi melalui gambar yang bisa dikumpulkan ke dalam album gambar. Kategorisasi gambar pun dimungkinkan dengan fasilitas tagar.

Dua atau tiga tahun terakhir, media sosial dengan fasilitas video dan atau live streaming sebagai menu utamanya mulai muncul. SnapChat (2015) memungkinkan pengguna mengambil gambar, merekam dan mengunggah video sepanjang 10 detik. Berbeda dari YouTube yang menyimpan data video yang dapat diakses kapan pun, konten gambar dan video di SnapChat hanya dapat diakses penggunanya selama 24 jam. Setelah itu, konten akan disembunyikan dari server penerima dan dalam jangka waktu tertentu akan dihapus (belakangan, ketika tulisan ini sedang ditulis, Instagram dan Facebook pun menyediakan fasilitas live streaming).

BIGO, yang mengusung program siaran langsung pribadi, telah melangkah lebih jauh dalam merepresentasikan tubuh manusia. Apabila SnapChat dan YouTube menyimpan kontennya sehingga bisa diakses ulang oleh pengguna—meski untuk SnapChat hanya beberapa jam saja—BIGO menampilkan penyiarnya hanya saat mengudara dan tidak ada “siaran ulang”. Hal ini membuat interaksi penyiar BIGO Live dan pemirsanya terjadi tanpa jarak durasi waktu. Itu berarti, representasi tubuh penyiar dapat diakses oleh penonton di banyak tempat dalam satu waktu.

Jenis live yang demikian ini sebenarnya sudah ada sejak televisi bisa mengadakan siaran langsung. Akan tetapi, BIGO bersifat interaktif, sifat yang tidak dimiliki oleh televisi. Dengan BIGO, komunikasi terjadi dua arah. Penonton dapat berkomunikasi langsung dengan penyiar dengan fitur chat dan yang terbaru adalah video call. Penonton pun dapat ikut tampil dalam pertunjukan yang dimiliki oleh si penyiar. Dalam situs web developer-nya yang berkantor di Singapura dikatakan bahwa BIGO dirancang untuk memungkinkan penggunanya menjadi penyiar (broadcaster)di acara pribadinya (BIGO, 2016). Selain menjadi penyiar, pengguna bisa juga menjadi penonton acara siaran lain. Penonton pun bisa menandai kanal ataupun penyiar favoritnya sehingga tiap kali penyiar favoritnya bersiaran langsung, ia mendapatkan notifikasi.

 

BIGO dan Kegiatan Merekam

Di dunia BIGO, para penyiar dituntut mempertunjukan hal-hal yang menarik. Semakin menarik konten siarannya (dan tentu pula si penyiar), semakin banyak penonton dan followers-nya. Penyiar yang mempunyai banyak penonton dan followers bisa ditampuk sebagai selebritis, “seleb BIGO”. Seleb BIGO ini ditunggu-tunggu oleh para penonton setianya yang akan mendapatkan notifikasi apabila si seleb mulai mengudara. Seorang seleb BIGO yang konsisten mendapatkan penonton dan followers biasanya ditawarkan kontrak sebagai oficial host oleh pihak BIGO. Sebutlah akun @eriscas yang menandatangani kontrak oficial host sejak Agustus 2016 hingga Agustus 2017. Ia masuk ke dalam 500 penyiar teratas BIGO. Hingga Oktober 2016, ia dibayar dua juta rupiah per bulan oleh BIGO dengan ketentuan harus bersiaran selama 40 jam dalam 20 hari atau 2 jam setiap hari. Sejak Oktober 2016, sistem pembayaran BIGO berubah. Tidak lagi gaji bulanan dengan ketentuan durasi siaran melainkan ditentukan dari berapa banyak penonton, followers, gift, dan ranking. Top 1 dalam satu bulan bisa mendapat delapan puluh juta rupiah. Belum ditambah hadiah-hadiah—berupa hadiah simbolik-virtual seperti diamonds atau sekadar beans yang dapat ditukar dengan uang—yang didapatkannya dari para penonton.

Pada titik ini, BIGO kelihatan bersepupu dengan salah satu budaya yang lekat dengan tontonan-tontonan tradisional Indonesia; budaya sawer. Prinsip kerjanya: tunjukkan sesuatu dan tunggulah hadiah membanjiri dari tempat penonton. Hal ini tampak misalnya pada Pentas Tayub. Bagi sebagian kalangan, citra Tayub buruk lantaran kebiasaan penonton laki-laki yang menyawer dengan memasukkan uang ke kemben atau kain penutup dada si penari. Hal yang sama bisa kita lihat pada BIGO. Ketika penyiar BIGO lebih suka ‘buka-bukaan’, ketika itu pula hadiah akan lebih banyak mengalir kepadanya.

Alasan ekonomi ini membuat para penyiar BIGO berlomba mendapatkan sebanyak-banyaknya followers, hadiah, dan rating dengan cara menyiapkan konten yang menarik. Topik yang dibicarakan pun beraneka ragam; produk kecantikan, lagu-lagu yang nge-hits, atau hanya joget-joget di depan kamera, sampai buka-bukaan mempertontonkan lekuk tubuh. Setiap penyiar biasanya dikenal dengan spesifikasi tema siaran yang dibawakannya. Salah satunya adalah siaran Dokter Sheila yang berisi informasi-informasi kesehatan. Penonton pun bisa berinteraksi dengannya untuk konsultasi kesehatan gratis. Ada lagi akun @[88]Wulan yang suka membawakan tema memasak dan memberikan resep-resep hidangan rumahan sederhana.

Namun, mereka yang membawakan tema-tema spesifik ‘serius’ demikian akhir-akhir ini mulai kehilangan pasar pemirsa. Menurut pengakuan pemilik akun @eriscas, ia kalah pamor dengan penyiar-penyiar yang hanya menunjukkan tubuh seksi tanpa konten siaran yang baik dan menarik. Menurutnya lagi, tiap kali siaran ia harus memakai riasan wajah agar enak dipandang oleh penonton yang kebanyakan laki-laki.

Para penyiar di BIGO banyak yang tergabung dalam kelompok-kelompok. Sebut saja Angel, kelompok penyiar perempuan cantik tipikal televisi; berkulit putih dan berambut panjang. Ada pula kelompok BNN alias Banana, tempat berkumpul para penyiar lelaki bergaya modis. Biasanya, penyiar yang tergabung di dalam kelompok-kelompok ini mempunyai pengikut yang banyak, baik karena konten mereka menarik maupun karena
mereka enak dilihat.

Menurut Penyiar BIGO pemilik akun @dearyn, salah satu keuntungan bergabung di kelompok-kelompok ini adalah saling membantu promosi. Dengan vitur Video Call, salah satu host BIGO bisa melakukan video call dengan host BIGO yang lain agar temannya itu bisa semakin dikenal. Masih menurut @dearyn, orang tidak harus keren untuk bisa terkenal di BIGO, tidak pula harus punya segudang prestasi atau berpredikat pesohor di dunia nyata untuk menjadi bintang di BIGO. Yang terpenting di BIGO adalah mempunyai fisik yang oke. Daftar Top 50 bulan Desember 2016 lalu memang didominasi para perempuan cantik dengan standar industri hiburan.

Seorang lelaki penonton setia BIGO yang tidak mau disebutkan namanya mengemukakan, bahwa ia lebih suka menonton para penyiar perempuan dan memberikan mereka hadiah. Kadang, ia pun melakukan video call dengan penyiar-penyiar yang disukainya setelah ia mengirimkan hadiah. Ini adalah contoh penonton level atas. Kemudian, eksis pula penonton level satu sampai puluhan yang hanya bisa menonton tanpa bisa memberi hadiah. Penonton jenis ini disebut sebagai observer oleh pengguna BIGO. Di atas jam 2 pagi, akan muncul jenis penonton lain yang kerap disebut dengan ‘pascol’ atau ‘pasukan coli’, jenis penonton mesum.

Akan tetapi, berapa pun levelnya, para penonton tidak segan untuk membagikan (share) acara para penyiar favorit. Tautan profil para penyiar tersebut biasanya mencakup akun-akun media sosial lain yang terhubung dengan BIGO seperti Twitter atau Facebook. Dari sisi penyiar, share tersebut menambah popularitasnya. Levelnya pun bisa meningkat.

Salah satu hal yang menarik dari aplikasi BIGO adalah para penyiarnya punya strategi- strategi khusus dalam merekam. Para penyiar sadar betul bahwa kehidupan mereka yang diketahui penonton hanyalah yang terbatas frame kamera. Hal itu ditunjukkan dengan performativitas mereka pada saat mereka ingin merokok atau berupaya menunjukkan seksualitas—dua hal yang dilarang dalam peraturan siaran BIGO. Mereka merokok di luar frame kamera sehingga adegan merokok tidak tertangkap oleh kamera. Jika penonton ingin mempertontonkan tubuh mereka, biasanya mereka akan memperlihatkan adegan di kamar mandi yang ditutupi oleh tirai kamar mandi sehingga yang terlihat hanyalah siluet tubuh mereka.

Pernah suatu ketika, dari siaran salah satu akun, tampak tiga perempuan yang mengenakan kain kemben sedang berbasah-basahan main air. Setelah beberapa menit hanya mengobrol, mereka membubuhkan sesuatu berbentuk foam ke kamera telepon genggam mereka sehingga visual menjadi kabur. Lantas, mereka berjoget dan sedikit-sedikit membuka kain kemben mereka tanpa tubuh mereka sendiri terkespos dengan gamblang. Kita bisa melihat ini sebagai strategi mengakali sensor yang menabukan perempuan mengekspos tubuhnya. Masih ingat bagaimana salah satu lembaga penyiaran mengaburkan visual tubuh seorang atlet renang Pekan Olahraga Nasional 2016 di Jawa Barat? Dengan adanya medium video yang terbatas oleh frame, mereka dapat menyiasati keinginan mereka untuk mengekspos tubuh dengan cara mengaburkan visualnya. Visual yang dikaburkan ini mengesahkan izin penampilan mereka.

 

Representasi Tubuh di dalam Bigo

Seperti yang telah dikemukakan di atas, setiap orang melakukan suatu performance setiap harinya. Apa yang tersaji pada BIGO Live pun bisa kita lihat dari perspektif itu. Penampilan para penyiar ini tentunya diperhatikan oleh pihak lain, baik itu individu maupun institusi tertentu, perusahan BIGO sendiri atau pun mungkin aparatus negara. Kemudian, saat media sosial dimatikan, kembali ke menu utama telepon pintar, dan kemudian mengunci atau mematikan gadget tersebut, layar menjadi hitam, dan yang terlihat di layar hitam itu adalah cerminan muka penggunanya. Mematikan dan menghidupkan telepon pintar beserta segala media sosial yang ada di dalamnya menjadi keputusan mandiri dari pengguna (baca ulasan Ali Mattu, 2015, tentang serial televisi berjudul Black Mirror). Penggunalah yang menentukan hendak melakukan apa di dunia maya.

Citra keseharian yang terekam di BIGO membawa serta ruang-ruang keseharian di mana si penyiar berada. Siaran yang dulunya hanya didominasi oleh kerja-kerja di studio televisi, sekarang dapat dilakukan di mana pun; di ruang yang paling privat sekali pun seperti kamar tidur, kamar mandi, atau mobil. Kita tidak perlu mengenal terlebih dahulu para penyiar BIGO Live untuk masuk ke dalam rumahnya, ke ruang-ruangnya yang paling privat—dengan aktivitas privat pula, seperti tidur, mandi (baik dengan disamarkan ataupun di balik tirai), atau menyumpah serampah saat sedang terjebak macet di dalam mobilnya. Foto dan video yang tadinya hanya konsumsi orang terdekat menjadi konsumsi publik. Batas antara yang publik dan yang privat menjadi samar. Media sosial lain memang sudah mengaburkan jarak antara yang publik dan yang privat. BIGO semakin menghapus jarak itu dengan sifatnya yang real-time. Dalam aplikasi ini, tidak ada jarak durasi antara penyiar dan penonton. Apa yang disaksikan penonton sekarang adalah apa yang sedang dilakukan oleh si penyiar. Namun berbeda dari siaran televisi yang juga bisa bersifat real-time, BIGO mempersilakan pengguna dan penonton untuk saling berinteraksi. Seperti yang dikemukakan Schultze & Orlikowski (2010) bahwa masyarakat hanya perlu masuk ke dalam dunia virtual berbasis komputer yang mensimulasi dunia nyata kita yang memungkinkan interaksi antar pengguna yang dipersonifikasi oleh avatar.

Hal selanjutnya yang perlu juga digarisbawahi adalah bahwa kenyataan dunia sebenarnya berjalan paralel dengan kenyataan dalam BIGO (lihat Zikri, 2014 dalam menganalisis game online). Keputusan-keputusan pengguna BIGO untuk “beradegan” dalam dan di luar lingkup frame kamera menunjukkan bahwa mereka menghadapi dua kenyataan berbeda: kenyataan dunia sebenarnya dan simulasi kenyataan—yang membentuk kenyataan lain—di dalam BIGO. Jika dalam kenyataan dunia sebenarnya kita dapat mengasumsikan seseorang merokok dari asap yang terlihat di mulut, di dalam kenyataan BIGO Live berbeda. Asap yang keluar dari mulut tidak serta merta menandakan bahwa orang itu baru selesai merokok. Kita tidak melihat rokoknya di
dalam frame kamera. Contoh lain adalah penyiar yang telanjang di balik tirai kamar mandi. Performance semacam ini memainkan imajinasi penonton bahwa seakan-akan di balik gorden—di kenyataan dunia online—para penyiar tersebut telanjang. Walaupun di layar BIGO Live, penyiar tidak telanjang karena tertutup tirai. Di kenyataan dunia online pun, kita tidak pernah tahu apakah penyiar memang benar-benar telanjang atau tidak.

Relasi antara penonton dan penyiar tergantung pula pada sejauh mana penyiar bisa memainkan imajinasi penonton. Hal ini dipaparkan oleh Hujatnikajennong (2011) saat menjelaskan tentang bagaimana video meregulasi tubuh. Posisi tubuh dan layar sangat penting untuk menciptakan relasi imajiner. Kemudian, relasi tersebut juga tergantung pada sejauh mana penonton mengimajinasikan tubuh yang hadir di layar. Sama halnya BIGO Live; ketika penonton bisa mengabaikan keberadaan layar telepon genggam, di situlah penonton baru akan dapat masuk ke dalam kenyataan BIGO Live. Dengan sedemikian rupa menggunakan foam, tirai, atau batas frame itu sendiri, penyiar dapat dengan mudah memainkan visual yang dihasilkan dari siaran mereka, sehingga publik yang menonton dapat membayangkan tubuh yang terpampang di sana. Demikian, BIGO Live dengan video-nya yang interaktif dan disiarkan secara langsung dapat menggantikan keberadaan tubuh manusia bagi orang lain.

Dengan wahana seperti BIGO Live, video menjadi karya yang performatif dan membuat para penggunanya dapat berinteraksi lebih intim tanpa perlu berinteraksi secara fisik. Dengan perhatian pengguna yang tidak ditujukan ke bingkaian layar lagi, tapi sudah lebih jauh ke isi layar tersebut, batas-batas menjadi hilang. Era digital yang menawarkan aplikasi semacam BIGO Live membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk masyarakat. Yang jelas, sudah marak di tengah masyarakat kita sebuah budaya media yang interaktif. Warga atau penggunanya dapat dengan mudah memproduksi dan mengkonsumsi informasinya sendiri.

 

Referensi
Andra. (2016, Oktober 4). Polling SINYAL: Perilaku Pengguna Bigo Live. http://www.sinyal.co.id/2016/10/polling-sinyal-perilaku-pengguna-bigo-live/. Diakses pada 31 Oktober 2016.

BIGO. About BIGO Live. http://www.bigo.sg/about.html. Diakses pada 13 September 2016.

Goffman, E. (1969). The Presentation of The Self in Everyday Life. London: Allen Lane.

Mattu, A. Black Mirror Reflects the Psychology of 21st Century Technology. http://brainknowsbetter.com/news/2015/4/21/black-mirror-reflects-the-psychology-
of-21st-century-technology. Diakses pada 6 Januari 2017.

Okezone Celebrity. Heboh Lagu ‘Keong Racun’, Jojo Ngaku Hanya Iseng. http://celebrity.okezone.com/read/2010/07/29/33/357783/heboh-lagu-keong-racun-jojo-ngaku-hanya-iseng. Diakses pada 19 Desember 2016.

Oxford Dictionaries. The Oxford Dictionaries Word of the Year 2013. http://blog.oxforddictionaries.com/press-releases/oxford-dictionaries-word-of-the-year-2013/. Diakses pada 12 September 2016.

Rappler. Mengandung Unsur Pornografi, Kemkominfo Blokir Situs BIGO Live. http://www.rappler.com/indonesia/berita/155626-kemenkominfo-blokir-situs-bigo-live-pornografi. Diakses pada 19 Desember 2016.

Schultze, U., & Orlikowski, W. J. (2010). Research Commentary: Virtual Worlds: A Performative Perspective on Globally Distributed Immersive Work. Information Systems Research, 810-821.

Widiartanto, Y. H. 2016: Pengguna Internet di Indonesia Capai 132 Juta. http://tekno.kompas.com/read/2016/10/24/15064727/2016.pengguna.internet.di.indonesia.capai.132.juta. Diakses pada 31 Oktober 2016.

Zikri, M. Yang Paralel dari Sang Komandan Farocki. http://jurnalfootage.net/v4/artikel/yang-paralel-dari-sang-komandan-farocki. Diakses pada 14 September 2016.

 

Wawancara

dearyn. (2016, Desember 28). Wawancara dengan dearyn tentang BIGO. (P. Putri, Interviewer)

eriscas. (2016, Desember 28). Wawancara dengan eriscas tentang BIGO. (P. Putri, Interviewer)

Start typing and press Enter to search