Dari masa ke masa, konsep Bromocorah mengalami pergeseran makna. Yang selalu sama hanyalah bahwa konsep Bromocorah selalu mempunyai posisi di luar sistem dominan. Oleh karena itu, ia selalu menjadi “orang lain”. Keberadaannya dalam menjadi orang lain membuatnya tak pelak dari definisi hukum atas dirinya sebagai pelaku kejahatan. Kejahatan sendiri merupakan hal yang kontekstual. Hukum pidana menspesifikasi tingkah laku yang mencakup kejahatan, namun definisi legal kejahatan juga dinilai sebagai sesuatu yang sempit. Definisi yang sempit tersebut mengabaikan konteks budaya dan sejarah hukum karena sesuatu yang didefinisikan sebagai kejahatan bervariasi di tempat yang berbeda, dan itu pun berubah pada periode waktu tertentu. Oleh sebab itu, sering kali definisi hukum atas kejahatan mengalami gesekan dan bentrokan dengan kenyataan kehidupan sehari-hari dalam suatu masyarakat.
Apabila kita melihat kasus Gang Tanjung di daerah Kampung Tengah, Pekanbaru dari kacamata sistem perundangan dengan pemahaman yang normatif, mungkin kita akan menilai keadaan di sana sebagai sesuatu yang chaotic sehingga hukum harus ditegakkan tanpa negosiasi. Akan tetapi, jika kita melihatnya dengan kacamata Chaos Theory, solusi atas tindak pelanggaran hukum bukanlah dengan meningkatkan hukum dan keteraturan di segala situasi. Solusinya adalah cukup dengan dosis yang tepat akan keteraturan sebab dosis keteraturan yang berlebihan akan memicu lebih banyak ketidakteraturan. Karena ternyata ketidakteraturan menyimpan potensi-potensi akan transformasi sosial yang merupakan kreativitas, variasi, dan spontanitas dalam relasi manusia. Toh, menurut Durkheim, kejahatan adalah sesuatu yang normal yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Kejahatan merupakan hal yang fungsional. Saat terjadi kejahatan masyarakat akan memberikan reaksi terhadapnya dan melakukan evaluasi terhadap norma yang telah disepakati bersama. Ia berdampak positif bagi kehidupan masyarakat. Si “orang lain” ini muncul sebagai agen perubahan. Ia membuat masyarakat menjadi dinamis.
Melihat kehidupan di Gang Tanjung tersebut warga masyarakat, aparat penegak hukum, dan pemerintah lokal di sana menanggapi kebromocorahan daerah itu sebagai sesuatu yang normal, yang ada di kehidupan mereka sehari-hari. Perjudian, prostitusi, penjualan alkohol, dan tindakan lainnya – yang didefinisikan sebagai kegiatan melanggar hukum oleh hukum Indonesia – tidak ditindak oleh aparat penegak hukum dan pemerintah lokal. Kalau pun ditindak, ia hanya berperan sebagai tindakan formalitas. Penegakan hukum memang harus memelihara ketertiban umum terkait aspek sosiologis, kompleks, dan informal. Dalam kerangka pikir ini, filosofi dalam aparat penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, adalah “Bergerak menjauhi konfigurasi militer dan berjabat tangan dengan seluruh anggota masyarakat.” Jadi, demi menjaga ketertiban umum, polisi dapat bertindak melanggar hukum karena pada dasarnya masyarakat lebih menitikberatkan pada nilai-nilai ketentraman sosial dibandingkan penegakan hukum, melihat bahwa penyelesaian jalur hukum tidak membawa solusi namun justru memperluas pertentangan dan rasa tidak nyaman dan aman.
Bromocorah mungkin memang adalah korban struktur sosial. Akan tetapi, alih-alih melihatnya hanya sebagai korban, mari kita melihatnya sebagai agen perubahan yang membuat masyarakat menjadi dinamis dengan mengingat bahwa ia tidak pernah menerima status quo. Ia merupakan realitas yang berada di luar sistem normatif, yang dipandang rendah oleh realitas konvensional. Dengan selalu menjadi “orang lain” dan berada di antara ruang-ruang tata aturan yang berlaku, ia memiliki kemampuan untuk mengolah, memiliki kapasitas dalam berpindah di antara struktur-struktur yang berbeda, dan dengan begitu ia menjalin relasi kehidupan.
Jakarta, 31 Januari 2019
Prashasti.