Sound art atau seni bebunyian seringkali didefinisikan sebagai disiplin artistik yang menggunakan bunyi sebagai medium utamanya. Akan tetapi, bagaimana kah bunyi sebagai medium utama itu? Kalau begitu, apa bedanya dengan musik yang selama ini kita dengar di radio atau di concert hall?
Tulisan ini merupakan usaha saya untuk mengerti seni bunyi. Saya sendiri sama sekali tidak punya latar belakang seni bunyi ataupun musik. Jadi untuk ini, saya memakai pengetahuan yang saya miliki untuk kemudian saya olah kembali.
Saya berangkat dari pertanyaan saya sendiri dalam Live Streaming Artist Talk 69 Performance Club edisi Theo Nugraha. Saat itu saya merespons ujaran Theo tentang representasi visual di layar dengan pertanyaan: apabila layar itu adalah salah satu bentuk representasi pada rupa, bagaimana konsep representasi pada bunyi?
Linda Ioanna Kouvaras (2013) dalam salah satu subbab-nya yang berjudul Postmodernism: Essential Aspects for Sound Art mengatakan bahwa seni bunyi sangatlah terkait dengan kebersituasian (situatedness) dan kesatuan (contingency) dari mediumnya (apa yang menghasilkannya) dan subjeknya (apa yang ia bicarakan). Berarti, ia terbuat dari bunyi, dan ia berbicara tentang bunyi itu sendiri; bunyi yang berasal dari — dan dengan demikian merepresentasikan — ruang dan waktu di mana ia berada, yang jika diletakkan di ruang dan waktu yang lain, ia akan menjadi berbeda. Oleh karena sifatnya yang self-representative tersebut, Kouvaras menyatakan, bahwa posmodernisme merupakan aspek esensial untuk seni bunyi. Pendapat Kouvaras tersebut saya artikan juga bahwa dalam seni bunyi kita tidak bisa tidak menghiraukan kehadiran (dan dengan demikian: ketidakhadiran) tubuh-tubuh manusia di ruang dan waktu tertentu tersebut. Jadi, apabila ada pemakaian teknologi pada seni bunyi, teknologi itu bukan hanya semata-mata sebagai suatu cara untuk mentransmisikan komposisi bunyi, namun juga sebagai esensinya. Apabila suatu bunyi diproduksi melalui pukulan tubuh, tubuh tidak hanya berfungsi sebagai media, tetapi juga sebagai esensinya.
Hal itu dapat dilihat di karya Theo Nugraha yang berjudul Sinyal Selatan (2018). Selama beberapa waktu ia merekam bebunyian yang ada di Forum Lenteng dan sekitarnya. Rekaman-rekaman tersebut lah yang kemudian ia susun untuk menjadi suatu komposisi bunyi dalam presentasinya. Dengan begitu, Theo merepresentasikan ruang dan waktu dan tubuh-tubuh yang berada di sana. Tentu, representasi tersebut bukan lah hal yang sebenarnya terjadi. Ia adalah simulasi akan kenyataan di milieu tersebut. Apalagi, theo memasukkan subjektivitasnya berupa persepsinya akan ruang, waktu, dan tubuh yang ada di Forum Lenteng ke dalam komposisi bunyi.
Karena seni bunyi selalu lekat dengan kebersituasian tersebut, ia selalu bersifat kontemporer. Sifat seni bunyi yang kontemporer bukan berarti menolak yang tradisi. Justru seni bunyi memperlakukan ke-tradisi-an tersebut dengan cara yang baru, dengan pemaknaan yang sekarang, di sini. Jadi saya kira, memproduksi karya seni bunyi bukanlah sekadar memindahkan milieu ke dalam suatu hal yang imateriil berupa bunyi. Memproduksi karya seni bunyi adalah mempersoalkan persepsi pada ruang, waktu, dan tubuh.
Jakarta, 24 April 2020
Prashasti.